Oleh: Fajar Pudiarna

Sangat disayangkan bangsa yang memiliki sejarah panjang justru harus kacau oleh perjalan sejarah itu sendiri. Pergulatan demi pergulatan terus terjadi. Bukan pergulatan untuk membebaskan tetapi pergulatan yang sesungguhnya tidak jelas apa yang menjadi maksudnya. Barangkali benar kalau dunia ini adalah panggung sandiwara, diatur, mengatur dan diskenario. Sekali lagi sangat disayangkan, seperti buah tanpa biji. Tak ada inti tak ada regenerasi. Semua hanya untuk sekarang. Enak sekarang, selamat sekarang tetapi kalau mati ya mati sekarang.

Satu per satu tumbang. Satu per satu naik. Tumbang menjadi pecundang, naik karena licik. Semua sama-sama pecundang.

Barangkali ini menjadi satu suratan takdir. Bukan takdir dari Tuhan, melainkan karena takdir kebodohan yang selalu terpelihara. Semua ingin mencatat sejarahnya sendiri, semua ingin menentukan sejarahnya, bahkan kalau perlu dan mampu semua ingin melawan sejarahnya.

Memang “cicak” dan “buaya” punya perbedaan. Antara besar dan kecil. Tetapi kalau bertarung tentu orang sudah akan bisa menilai siapa yang menjadi pemenang. Tepat, istilah itu diletuskan. Bukan karena siapa yang besar dan siapa yang kecil, tetapi karena sama-sama bodoh sebab diantara keduanya sama-sama berotak kecil.

Sebenarnya “cicak” dan “buaya” tak kan pernah bertarung, tak mungkin mereka saling memakan. Mereka hidup di alam yang berbeda. Berbeda pula porsinya. Hanya ada satu kesamaan diantara keduanya, yaitu coraknya. Sama-sama mengintai, kemudian memangsa apa yang seharusnya menjadi mangsanya. Tetapi jika keduanya sudah saling bertarung maka ada pihak yang mengadu. Si pengadu sungguh cerdik, tahu betul menempatkan mereka dalam satu arena pertarungan. Demi sensasi dan ilusi.

Ilustrasi di atas mungkin perlu untuk kita renungkan. Barangkali di sini kita juga hanya akan menjadi penonton dan komentator. Ikut terlarut, terbawa emosi dan mengomentari. Suguhan cerita ini sebaiknya perlu kita sertakan label “BO” (Bimbingan Orang Tua) supaya kita ada yang mengingatkan makna dari jalan cerita. Terkesan ketika kita sudah larut dalam cerita sering membela tokoh A dan akan mengecam tokoh B, demikian juga sebaliknya tergantung pemahaman mengenai jalan cerita. Latah, ikut-ikutan. Merasa diri sebagai aligator. Sekali lagi, cerita ini bukan tanpa skenario.

Yang terpenting adalah bagaimana kita membangun watak. Sadar atau tidak kita masih memiliki watak “inlander”, hanya berani bertarung sesama anak bangsa yang tidak lain karena perebutan aset. Lupa kalau aset yang dimiliki sebenarnya punya siapa, seharusnya diolah oleh siapa dan hasilnya untuk siapa. Kalau hanya perut dan penghias kepala sendiri yang kita pikirkan maka akan demikian jadinya. Hancur tak berbekas.

Bangsa ini belumlah hancur sepenuhnya, masih ada titik-titik harapan. Titik-titik harapan itu ada pada diri kita. Kuncinya adalah bisa menempatkan diri. Tidak hanya menjadi penonton, tetapi bukan pula menjadi pemain yang harus mentaati skenario. Menjadilah pemain yang sanggup bermain atas dasar kenyataan, yang sanggup melebur jarak antara penonton dan pemain sehingga tidak ada lagi penonton dan pemain. Semua bekerja, yang akhirnya tercipta kerja bersama untuk kemaslahatan bersama.

Untuk “cicak” dan “buaya” biarkan mereka bergulat. Biarkan si pengadu mengalami kebosanan oleh karena sensasi dan ilusinya tak mampu membodohi. Untuk kita tetaplah BEKERJA.