Pudiarna
Berpikir Revolusioner, Berjuang Di Garis Massa

Bahaya! Samarnya Sebuah Idiologi

Posted In: . By Fajar Pudiarna

Oleh: Fajar Pudiarna

Beberapa waktu yang lalu perpolitikan Indonesia telah digemparkan oleh issue politisi busuk. Sekarang tak kalah hebatnya, massifnya politik keluarga membuat berbagai kalangan menjadi gerah. Tidak hanya politisi busuk yang memberikan dampak buruk terhadap nasib rakyat Indonesia, tetapi politik keluarga ini akan memiliki dampak yang sama.

Saya sepakat dengan pendapat mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Ichlasul Amal. Beliau berpendapat bahwa banyaknya keluarga pemimpin partai atau mantan penguasa yang terjun ke dunia politik lebih didorong oleh faktor pragmatisme, bukan ideologi. Hal ini tidak menguntungkan bagi kehidupan partai dan pendidikan politik nasional (Kompas, 21/10/08).

Oleh karena telah terbelenggunya pikiran mereka ke dalam lubang pragmatisme maka makna Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pun telah mereka maknai secara pragmatis. Politik pencitraan lebih memfokuskan mereka daripada upaya melakukan pendidikan-pendidikan politik bagi rakyat. Tidak sedikit dari sekian partai politik (parpol) telah merekrut individu-indivdu kalangan artis atau aktivis. Perekrutan individu-individu dari kedua kalangan itu baik sebagai fungsionaris maupun sebagai calon legislatif tidak lain hanya sekedar untuk memanfaatkan kepopuleran mereka guna meraup suara.

Ternyata wacana-wacana mengenai politik keluarga telah mempengaruhi para tokoh politik besar. Contoh saja apa yang telah di lakukan oleh Susilo Bambang Yodhoyono (SBY). SBY telah melakukan pencoretan anaknya Edhie Baskoro Yudhoyono dari daftar caleg nomor jadi di Daerah Pemilihan Jawa Timur VII. Bukankah dengan demikian SBY juga terjebak dalam politik pencitraan?

Kalau yang dilakukan SBY itu hanya sekedar memberikan contoh bagi sejumlah tokoh politik atau ingin menunjukkan kepada rakyat bahwa dirinya merupakan pemimpin yang anti KKN, maka itu sah-sah saja. Demikian sebaliknya, hal itu akan menjadi sia-sia kalau dilihat secara prisip. Akan lebih tepat kalau yang dilakukan oleh SBY itu demi memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Prisipnya yaitu berada dalam wilayah kapasitas idiologi para kader partai. Demikian halnya dengan anaknya. Seharusnya pencoretan itu SBY berani menunjukkan bahwa anaknya memang belum mampu terlibat untuk mengamban tugas berat perjuangan rakyat oleh karena masih lemahnya kapasitas idiologi. Dengan demikan, aksi itu akan memberikan pendidikan bagi rakyat, bahwa mengemban amanah rakyat itu tidak mudah.

Minim atau gagalnya kaderisasi di sejumlah partai yang memicu praktek politik keluarga menandakan lebarnya jarak antara rakyat dengan partai. Tetapi minim atau gagalnya kaderisasi partai yang menjadi alasan utamanya mungkin berat untuk diterima. Sebab bagi sejumlah parpol telah beranggapan bahwa proses kaderisasi telah berhasil dilakukan. Bahkan masing-masing dari mereka (parpol) optimis akan memenangi setiap pemilu. Hanya saja apakah kaderisasi itu disertai dengan proses idiologisasi?

Kaderisasi tanpa disertai idiologisasi akan memiliki dampak yang sangat berbahaya. Kemungkinan besar dari kader-kader yang telah jadi akan menjadi politisi busuk atau akan menjadi broker. Kenapa bisa demikian? Parpol-parpol sekarang bisa dikatakan sebagai parporl-parpol yang krisis idiologi. Pola-pola yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan sebuah klub sepak bola. Setiap pemain bisa dengan mudah berpindah dari satu klub ke klub yang lain. Apabila pemain di klub A tidak mendapat kepuasan, maka akan berpindah ke klub B atau C yang lebih bisa memberikan kepuasan dan jaminan masa depan. Sama halnya dengan sejumlah tokoh politik. Ketika di partai A dirinya tidak mendapat posisi strategis, maka si tokoh tersebut akan berpindah ke partai B yang telah siap memberikan posisi strategis. Artinya, apa yang telah mereka lakukan adalah demi sebuah kedudukan dan kekuasaan semata biarpun segala apologi telah mereka sertakan.

Perpolitikan saat ini memiliki perbedaan dengan perpolitikan pada era orde lama meskipun sama-sama menjalankan sistem multipartai. Perpolitikan orde lama lebih memberikan identitas dan karakter di mata rakyat pada masa itu. Bukan berarti perpolitikan sekarang lebih buruk. Luasnya ruang demokrasi sekarang ternyata tidak mampu memunculkan identitas bangsa. Dengan pengalaman dan kemudahan dalam menempuh jenjang pendidikan, generasi sekarang seharusnya memiliki basic yang lebih bagus.

Pada masa pemerintahan orde lama Indonesia didominasi oleh tiga golongan besar beserta landasan idiologinya, yaitu golongan Agama (Idiologi Islam/Syariat Islam); Nasionalis (Nasionalisme); dan Komunis (Komunisme). Masa orde lama merupakan masa transisi dari masa kolonialisme ke masa kemerdekaan maka sudah pasti akan terjadi banyak gesekan idiologis. Meskipun banyak sekali terjadi gesekan-gesekan idiologi, justru ini membuktikan bahwa idiologi menjadi panji utama dalam proses pengidentitasan bangsa. Yakni adanya upaya untuk melandaskan atas didirikannya sebuah negara.

Dialektika sejarah telah menghantarkan ke medan perpolitikan. Cukuplah bagi kita untuk menilai karakteristik perpolitikan sekarang. Bukan lagi landasan idiologi yang menjadi indikator keberhasilan pembangunan politik nasional, akan tetapi pertentangan antar individu yang saling berebut kekuasaan. Maraknya politik keluarga bukan karena tidak berhasilnya kaderisasi oleh sebuah partai. Akan tetapi partai politik menenempatkan dirinya secara eksklusif, sehingga jarak antara rakyat dan parpol sangatlah jauh. Partai politik seolah menjadi istana para dewa dan rakyat seolah menjadi obyek kekuasaannya.

Jelas sudah, bahwa pragmatisme telah membelenggu pikiran tokoh-tokoh politik kita. Sekarang lihat saja dari indikasi riil yang berkaitan dengan kampanye-kampanye politik yang diusung oleh sejumlah tokoh politik. Issue-issue mengenai kesejahteraan seolah-olah hanya dewa-lah yang menjadi penolongnya. Dan para tokoh politik besar itu seolah-olah telah berlaku sebagai dewanya. Siapa saja yang mau menyembah dan mengabdi kepada dewa tersebut, maka pahala berupa kesejahteraan akan didapat. Akibatnya proses penyembahan dan pengabdian itu hanyalah penyembahan dan pengabdian pragmatis. Kesejahteraan telah dikaburkan dari makna perjuangannya. Padahal sudah jelas, bahwa kesejahteraan rakyat hanya akan didapat melalui proses perjuangan rakyat itu sendiri. Bahkan Islam pun mengajarkan melalui Al Quran “...Bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu mau merubahnya”. Universalnya makna ini menegaskan makna sebuah perjuangan.

Kalau demikian seterunya maka sudah bisa dipastikan, bahwa rakyat akan semakin terperosok pada jurang kesengsaraan. Kedaulatan tak kan bisa digenggam lagi sebab rakyat tak memiliki batu pijakan guna menjujung tinggi kedaulatannya. Idiologi merupakan titik tolak bagi jalannya proses perjuangan rakyat. Ketidak jelasan idiologi partai politik dikhawatirkan akan menjebak rakyat kepada sebuah belenggu pembodohan.###

 

Oleh: Fajar Pudiarna

……Adil Sejak dalam Pikiran” (Bumi Manusia: Pramoedya Ananta Tour)

Sekelumit tentang penggalan kalimat dalam sebuah Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Tour ini akan menghantarkan kita untuk membangun pola pikir dalam menyikapi sebuah Rancangan Undang-undang (RUU) Pornografi. Pornografi memang bukan merupakan issue yang baru, akan tetapi sejak bergulirnya RUU Pornografi sepintas kemudian beberapa lapisan masyarakat menjadi resah. Resah terhadap pilihan kemana masyarakat akan berpihak dan bagaimana akibatnya nanti. Apakah akan mendukung atau menolak? Bagaimana jadinya nanti kalau kami menolak? Dan bagaimana jadinya nanti kalau kami mendukung?

Seharusnya pemerintah jangan bersikap reaksioner dalam memandang hal ini. Sebelum dirumuskan menjadi sebuah RUU tentu dilakukan pengkajian terlebih dahulu. Dan saya yakin kalau dalam hal ini (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) telah melakukan pengakijian terlebih dahulu. Tetapi perlu diingat, bahwa yang ada di dalam parlemen terdiri dari beberapa golongan yang mengatasnamakan rakyat. Dan mungkin sebagian besar produk UU yang dihasilkan dari parlemen merupakan wujud representatif dari kepentingan golongan yang berada di dalam parlemen.

Banyak dalih yang bisa digunakan, secara faktual banyak sekali kasus yang terjadi. Mulai dari kasus pemerkosaan, pencabulan maupun ragam dari segala bentuk pelecehan seksual. Hampir setiap hari berita-berita kriminal di media massa maupun televisi menayangkan kasus-kasus ini. Sehingga membuat gerah berbagai kalangan masyarakat. Demikian halnya dalam upaya melegitimasi RUU tersebut pemerintah menggunakan landasan UUD 1945 pasal 28 huruf J ayat 2 yang menyatakan “bahwa kebebasan berpendapat diatur dengan UU untuk menjaga nilai-nilai agama, moral, dan budaya”. Mungkin kalau dilihat dari esensi UU sebagai sebuah kebijakan publik akan dapat menguntungkan atau memberi manfaat bagi banyak orang dan menekan risiko seminimal mungkin. Memang tidak ada sebuah kebijakan yang akan memuaskan semua orang, tetapi yang pasti harus memberikan manfaat atau nilai bagi banyak orang. Pengertian banyak orang bukanlah didasarkan pada mayoritas dan minoritas, karena kebijakan itu sendiri tidak boleh diskriminatif.

Akan tetapi kalau menilik dari proses perjalanannya, RUU Pornografi ini tidak sedikit telah mendapat penolakan. Mereka yang menolak adalah lapisan masyarakat yang khawatir akan disalahgunakannya produk UU ini untuk tujuan tertentu. Tujuan tertentu disini tentu bertentangan dengan esensi dari UU sebagai bentuk kebijakan publik. Apalagi di Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum pada draft terakhir RUU Pornografi menyebutkan, pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Definisi ini, menunjukkan longgarnya batasan "materi seksualitas" dan menganggap karya manusia, seperti syair dan tarian (gerak tubuh) di muka umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda di setiap ruang, waktu, maupun latar belakang. Isian dari bab ini oleh para penolak dinilai masih mengandung makna yang ambigu, tidak jelas atau bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Sehingga akan memberikan kelonggaran bagi beberapa kalangan untuk melakukan perbuatan yang akan merugikan masyarkat dengan alasan penegakan UU oleh karena kesalahan dalam penafsiran dari makna pornografi sendiri.

Pornografi merupakan sesuatu yang sugestif. Sedangkan sesuatu yang sugestif itu sudah pasti subyektif, yang muncul dari pikiran masing-masing individu manusia. Sama halnya dengan dorongan seksual yang merupakan fitrah manusia. Tanpa dorongan seksual mustahil kehidupan manusia akan berkembang.

Sebenarnya ada 3 aspek dalam landasan RUU Pornografi yaitu agama, moral dan kebudayaan. Pertama dalam aspek agama. Tidak ada satu agama pun yang mengajarkan tentang kejelekan. Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur dan akhlak mulia atau dalam istilah Islam terkenal dengan “akhlaqul karimah”. Dalam agama Budha mengajarkan tentang karma, begitu juga dengan agama-agama lain. Sedangkan di Indonesia ada 5 agama ditambah konghucu dan aliran kepercayaan. Mengenai aurat, hanya agama Islam-lah yang secara detail mengajarkannya. Biarpun Islam merupakan agama mayoritas, bukan berarti aturan dalam penutupan aurat itu didasarkan sepenuhnya pada ajaran Islam.

Seperti halnya perkataan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pakaian adat yang memperlihatkan aurat sebaiknya disimpan di museum saja. Hal ini tidak cocok kalau dikatakan dihadapan masyarakat Indonesia. Sebab banyak masyarakat Indonesia yang menjalankan ritual agama justru menggunakan pakaian adat. Misalnya saja umat Hindu perempuan yang pergi ke Pura hanya menggunakan “kemben”. Kalau dilihat dari sudut pandang ajaran Islam memang bertentangan, tetapi kenyataannya belum pernah ada kasus pemerkosaan yang terjadi di dalam Pura. Dan kalau mau berlaku adil, mari kita sama-sama mengumpulkan data kasus pemerkosaan. Diantara berbagai macam kasus pemerkosaan yang telah terjadi coba kita list agama dari para pelaku pemerkosaan itu. Mana yang lebih banyak? Atau kalau mau lebih jauh, mari kita lihat berapa banyak TKW yang diperkosa majikannya di Arab saudi. Bukankan Arab Saudi merupakan bagian dari tempat kelahiran Islam?

Kedua dalam aspek moral. Moral lebih luas cakupannya yaitu lebih pada kaidah hubungan antar manusia. Sebab selain agama sebagai landasan, moral juga melihat tradisi dan adat-istiadat. Sehingga moral lebih melihat pada norma-norma yang berlaku di masyarakat. Moral diakui bahwa didalam menjalin interaksi antar sesama warga harus mengikuti kaidah-kaidah kesopanan, biarpun kaidah kesopanan ataupun ukuran moralitas itu relatif.

Biasanya di kampung-kampung yang masih kental nilai-nilai religiusnya apabila terjadi suatu perilaku oleh seseorang baik dari cara berpakaian ataupun kebiasaan diluar batas kesopanan menurut kebiasaan kampung tersebut akan mendapat teguran dari tokoh dan atau masyarakat. Kalau tidak, biasanya seseorang yang berbuat demikian akan terasing di lingkungannya. Sehingga apabila sudah merasa terasing secara tidak langsung akan berubah sedikit demi sedikit dan kembali membaurkan diri pada lingkunganya. Tindakan dari masyarakat perkampungan ini biasanya cukup efektif dalam memberikan efek jera.

Kalau perkara moral ini mau dilihat secara luas, yaitu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka lebih tepatnya yang menjadi tolok ukur adalah bagaimana para pemimpin bangsa ini bisa menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. Adalah sesuatu hal yang mustahil akan tercipta moral masyarakat yang baik tanpa adanya dukungan moral yang baik dari pemimpinnya. Contoh saja beberapa kasus anggota dewan yang ketahuan terlibat dalam aksi pencabulan. Bukankah ini merupakan representasi dari kemunafikan? Apakah kebobrokan moral pemimpin bangsa ini akan dilimpahkan kepada masyarakat sebagai upaya pembersihan? Kalau memang demikian berarti para pemimpin bangsa kita ini sudah begitu hebatnya yaitu berani mengibarkan bendera moral diantara kebobrokan moral.

Dalam Tri Saktinya Soekarno “berkepribadian dalam budaya” menunjukan betapa budaya memiliki peranan khusus yaitu sebagai karakter bangsa. Sedangkan menurut RM Suwardi Suryaningrat budaya merupakan buah budi manusia. Kata “buah budi” inilah yang memaknai bahwa budaya merupakan buah dari perilaku kebaikan manusia demi menunjang kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Kalau kita menilai bahwa pornografi memiliki peranan berbahaya bagi masyarakat Indonesia di masa sekarang dan masa yang akan datang, maka sudah selayaknya pornografi itu segera dihilangkan dari pikiran kita. Proses penghilangan budaya pornografi bukan berarti bisa dilaksanakan secara mutlak melalui sebuah pemaksaan. Melainkan melalui pendidikan-pendidikan yang memiliki perspektif budaya.

Bisa dibilang Indonesia memiliki banyak sekali budaya yang terdiri dari budaya-budaya lokal. Akan tetapi sayangnya anak bangsa merasa enggan atau bahkan merasa sudah tidak memiliki budaya itu. Lebih parahnya menganggap budaya lokal daerahnya sudah ketinggalan jaman. Kalau sampai hal ini terjadi maka siapa yang patut disalahkan? Bukankan mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) materi mengenai budaya-budaya daerah telah di perkenalkan? Ataukah materi-materi ini hanya sebagai syarat dalam sebuah kurikulum, bukan sebagai media penanaman karakter? Atau barangkali gurunya yang tidak mampu mendidik akan hal itu?

Sebenarnya bisa diketahui bahwa rusaknya budaya bangsa itu sekali lagi terletak di tangan para pemimpin bangsa. Ada falsafah mengatakan “bahwa untuk menghancurkan sebuah bangsa maka hancurkanlah budayanya serta jauhkan sejarah dari ingatan anak bangsanya”. Kalau kemudian ditarik secara vertikal maka jelas bahwa pemerintah menjadi jembatan penghancuran itu.

Oleh karena pornografi merupakan suatul hal yang sugestif maka pikiran itu sendiri yang dapat mengontrolnya. Bukan salahnya pelukis apabila ia melukis tentang seorang perempuan telanjang, atau bahkan bukan salah penari Jaipong apabila ia meliuk-liukan tubuhnya ketika menari. Tetapi salahkan pikiran kita, ketika pikiran kita tidak mampu mengontrol bahwa kita harus bersikap adil dalam memandang sesuatu. Maka tepat kiranya kalau kita meletakkan sendi-sendi keadilan itu sejak dalam pikiran kita. Karena hanya itulah yang mampu meminimalisir segala bahaya dekonstruksi kepribadian. Tanpa itu biarpun sejuta UU telah disahkan maka pelanggaran akan tetap ada.###

 

Oleh: Fajar Pudiarna

Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia merupakan modal utama dalam menyokong proses tercapainya kesejahteraan rakyat. Sedangkan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan modal baku guna mengolah dan menjaga SDA tersebut. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 sudah dijelaskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar
kemakmuran rakyat”.

Melihat dari kekayaan SDA-nya, Indonesia saat ini memiliki 25% timah, 7,2% emas, 5,7% nikel, dan 2,2% batubara tingkat dunia. Indonesia juga penghasil gas terbesar di dunia serta penghasil batubara terbesar nomor dua setelah Australia. Tidak hanya itu, Indonesia juga memproduksi minyak bumi. Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah apakah dengan kekayaan SDA yang melimpah dan didukung dengan SDM yang berjumlah 230 juta itu akan menjadi berkah atau malapetaka bagi rakyat Indonesia? Jawabannya berada pada rakyat sendiri.

Kalau melihat dari umur Indonesia paska Proklamasi Kemerdekaan ’45, berarti sudah 63 tahun lamanya kita meniti hidup sebagai bangsa yang merdeka. Tetapi kalau melihat dari kenyataan, mungkin kita akan ragu apabila kita menyatakan diri sudah merdeka. Para pejuang kemerdekaan yang menjadi founding father bangsa bercita-cita bahwa bangsa ini merdeka secara lahir maupun batin. Merdeka seluruh tumpah darah Indonesia. Mampu berdiri sejajar dengan bangsa lain dan berhak menentukan nasib sendiri. Tri Sakti-nya bung Karno bukan saja menjadi senjata dalam melawan Imperealisme. Akan tetapi sekaligus sebagai piandel (benteng) dalam meniti kepribadian bangsa.

Imperealisme ternyata memiliki keuletan dalam mencengkeramkan kukunya. Tidak hanya Belanda pada waktu itu yang memiliki kepentingan, tetapi Amerika Serikat juga memiliki maksud yang sama.

Kejatuhan Soekarno yang kemudian digantikan oleh rezim Soeharto ternyata menjadi tumpeng lezat bagi kekuatan imperealis. Satu demi satu perusahaan multinasional menunjukkan taringnya guna melahap satu demi satu kawasan Indonesia yang memiliki potensi SDA. Percaturan politiklah yang kemudian bermain.

Pemilu 2009, merupakan pemilu dari kesekian kali pemilu yang pernah dan akan kita lalui. Satu demi satu pemilu yang pernah kita lalui, hampir semua partai menjanjikan angin segar terhadap nasib rakyat. Tapi apa buktinya, berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan sudah kita dapatkan? Jawabannya adalah Tidak!

Partai politik yang berkembang mulai masa orde baru, merupakan partai politik yang memiliki kaitan dengan program-program imperealis. Partai-partai tersebut bukan merupakan partai yang menjadi implementor perjuangan rakyat. Melainkan partai-partai yang berjuang untuk meluaskan kekuasaan atas segala kekayaan yang dimiliki Indonesia. Kenapa demikian? Jawabannya berada di balik pertanyaan siapa tokoh-tokoh dalam sebuah partai? Biarpun segunung emas dijanjikan kepada rakyat, maka mustahil kalau akan terpenuhi. Sebab sebelum partai menjadi partai pemenang pemilu, partai-partai tersebut menggunakan cara-cara manipulatif, yaitu memberikan sogokan-sogokan kepada rakyat. Problem kemiskinan memang telah menjadi problem pokok masyarakat. Di sini bukan berarti rakyat harus ditipu secara mentah dengan dalih pangabdian.

Secara prinsip, partai politik merupakan alat yang dibentuk oleh rakyat sebagai alat yang bisa memperjuangkan rakyat. Misalnya, partai buruh. Partai buruh hendaknya dibentuk oleh buruh sendiri guna memperjuangankan hak-haknya di parlemen. Andaikata sekarang rakyat belum bisa dikatakan sebagai rakyat yang sadar akan hak-haknya, maka sudah menjadi kewajiban bagi yang sudah sadar untuk menyadarkan dan mendorong terciptanya suatu gerakan rakyat.

Dalam menyongsong pemilu 2009 sudah banyak tokoh-tokoh yang berubah menjadi artis dan seolah-olah telah menampakkan dirinya di televisi-televisi melalui iklan politik sebagai agen perubahan. Bagai seorang ksatria yang berjiwa pendeta, mereka telah mengeluarkan fatwa-fatwa yang meyakinkan rakyat. Padahal biaya-biaya untuk iklan sendiri telah memakan uang milyaran rupiah banyaknya. Bukan rahasia umum, mereka yang berkedok ksatria berjiwa pendeta itu telah memiliki pamrih untuk duduk di kursi kekuasaan.

Tidak hanya itu, mereka yang mengatas namakan aktivis dan berjuang digaris massa juga telah terjebak dalam permainan ini. Hampir mayoritas, fenomena 2009 telah menyedot banyak aktivis untuk terlibat dalam percaturan politik dengan terlibat di berbagai partai politik dan bermain-main dengan berbagai landasan idiologi.

Singkatnya, bagi para pejuang sejati tentu menggunakan idiologi yang sejati dengan massa yang sejati pula. Idiologi sejati dengan massa sejati merupakan satu kesatuan yang tidak bisa ditinggalkan. Idiologi sejati adalah idiologi yang benar-benar bisa diterima rakyat dan didukung dengan penuh kesadaran oleh oleh rakyat. Sekarang kita tinggal menilai, apakah di ajang pemilu 2009 ini masih ada sebuah perjuangan yang sejati atau hanya sebagai ajang bagi para kaum munafiqin?

 

KENAIKAN HARGA BBM BUKAN SOLUSI LOGIS

Posted In: . By Fajar Pudiarna

BLT Adalah Sogokan Bagi Rakyat Miskin

Oleh: Fajar Pudiarna

Beban subsisdi Negara yang mencapai Rp. 250 triliun, apabila harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi tidak dinaikkan maka defisit anggaran akan membengkak hingga Rp. 150 triliun dan akan melanggar UU APBN 2008 itulah yang menjadi alasan utama pemerintah dalam upaya menaikkan harga BBM. Akan tetapi apakah alasan itu sudah dipertimbangkan matang-matang oleh pemerintah, mengingat kondisi riil warga negara yang masih lemah, khusunya warga miskin yang masih tinggi.

Anggaran pendapatan negara tahun 2008 sesuai dengan UU No 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 hanya didapat dari tiga sumber, yaitu (1) Penerimaan Perpajakan; (2) Penerimaan Bukan Pajak; dan (3) Hibah. Dari ketiga sumber pendapatan negara tersebut mencapai total jumlah Rp. 894,99 triliun, itupun penerimaan terbesar dari pajak yang mencapai Rp. 609,227 triliun. Sedangkan untuk anggaran belanja negara mencapai Rp. 989,49 triliun, dengan pengeluaran terbesar untuk anggaran belanja pemerintah pusat yaitu mencapai Rp. 697,071 triliun. Disini sudah kelihatan, bahwa keseimbangan antara pendapat dengan belanja negara sudah tidak seimbang dan mengalami defisit sebesar Rp. 94,5 triliun.

Sebenarnya kalau kita lihat lebih dalam, maka persoalannya bukan pada berapa besar defisit anggaran negara kita, tetapi lebih bagaimana upaya pemerintah meningkatkan produksi dalam negerinya. Kalau pemerintah mengacu pengurangan defisit anggaran dengan jalan menaikkan harga BBM atau mencabut subsidi BBM sebesar Rp. 8,254 triliun, maka itu bukan jalan keluar yang logis, walaupun pemerintah beranggapan kalau BBM tidak dinaikkan maka subsidi BBM akan mencapai Rp. 190 triliun dari Rp. 8,254 triliun. Sebab rakyatlah yang akan menanggung beban berat semua itu, padahal anggaran subsidi BBM sebesar Rp. 8,254 triliun itu jauh lebih kecil ketimbang anggaran yang dikeluarkan pemerintah hanya untuk membayar cicilan pokok utang luar negeri yang mencapai Rp. 61,254 triliun.

Dengan dinaikkannya harga BBM sebesar 30% atau harga BBM akan naik menjadi Rp. 6000/liter (premium) yang mengacu pada kenaikan minyak dunia sebesar 124 dollar AS/barel, itu merupakan wujud nyata dari kesalahan pemerintah dalam menerapkan kebijakan pertambangan dan energi. Menurut laporan Energy Information Administration (EIA) Januari 2008, disebutkan bahwa total produksi minyak Indonesia rata-rata sebesar 1,1 juta barel per-hari, dengan 81% (atau 894.000 barel) adalah minyak mentah (crude oil). Untuk produksi gas alam, Indonesia sanggup memproduksi 97.8 juta kubik. Sebagai informasi, Indonesia masuk dalam daftar ke 9 penghasil gas alam di dunia, dan merupakan urutan pertama di kawasan Asia Pasifik. Sayangnya hampir 90% dari total produksi (red: gas) tersebut berasal dari 6 MNC, yakni:
• Total (diperkirakan market share-nya di tahun 2004, 30 %)
• ExxonMobil (17 %)
• Vico (BP-Eni joint venture, 11 %),
• ConocoPhillips (11 %)
• British Petroleum (6 %), dan
• Chevron (4 %).

Stok gas bumi mencapai 187 triliun kaki kubik atau akan habis dalam waktu 68 tahun, dengan tingkat produksi per tahun sebesar 2,77 triliun kaki kubik. Cadangan batu bara ada sekitar 18,7 miliar ton lagi atau dengan tingkat produksi 170 juta ton per tahun berarti cukup untuk memenuhi kebutuhan selama 110 tahun. (Sumber: Kementerian ESDM 2006).

Bayangkan, dari 1,1 juta barel/hari kalau seandainya diproduksi oleh perusahan negara yang tentunya fungsinya untuk mensuplai kebutuhan dalam negeri, maka kita akan menghasilkan dana sebesar 13.6400.000 dollar AS atau Rp. 1.227.600.000.000/hari bruto. Belum lagi ditambah dengan pengasilan sumber-sumber energi lain. Tetapi sayangnya sebanyak 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia dimiliki oleh perusahaan multinasional (asing). Perusahaan nasional hanya punya porsi sekitar 14,6 persen. Data terbaru di BP Migas menyebutkan hanya ada sekitar 20 perusahaan migas nasional yang saat ini mengelola lapangan migas di Indonesia. Dan dari 20 perusahaan tersebut, hanya 10 perusahaan yang sudah berproduksi. Sisanya, masih belum berproduksi.

Di sisi yang lain sebagai upaya pemerintah dalam mengurangi beban masyarakat miskin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai untuk Rumah Tangga Sasaran (RTS) setelah memimpin rapat paripurna kabinet selama sembilan jam. Turunnya Inpres tersebut untuk kelancaran pelaksanaan program pemberian bantuan langsung tunai kepada RTS dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi Bahan bakar minyak. Dalam Inpres ini yang dimaksud dengan Rumah Tangga Sasaran (RTS) adalah rumah tangga yang masuk kategori sangat miskin, miskin, dan hampir miskin. BLT kepada RTS sebagaimana yang dimaksud dalam Inpres ini berakhir pada tanggal 31 Desember 2008, dikeluarkan setelah sidang kabinet 14 mei 2008. Ini adalah sinyal jelas bagi rakyat, bahwa BBM tetap akan dinaikkan.

BLT sebesar Rp. 100.000/bulan, selain akan berdampak terjadi konflik horisontal atau bahkan akan terjadi korban karena buruknya sistem distribusi seperti tahun 2006 lalu, BLT juga tidak memberi manfaat lebih bagi rakyat miskin, sebab dalam kerangka kebutuhan ekonomi, apalagi dalam sistem ekonomi liberal seperti saat ini, rakyat tak kan bisa berbuat banyak. Prinsipnya BLT hanya berfungsi sebagai sogokan bagi rakyat guna meredam amarah rakyat.

Sebenarnya, problem utama dari krisis sekarang ini jelas bermuara pada fakta: melimpahnya kekayaan alam Indonesia, namun tidak sedikitpun tetesannya jatuh ketangan rakyat miskin. Penguasaan asing atas sektor pertambangan kita, dari sektor hulu sampai pada hilir, turut memperberat tekanan pada mengecilnya keuntungan (pendapatan) Negara. Ini ditambah beban biaya produksi yang membuat industri dalam negeri kolaps.

Karena itu sudah saatnya bangsa Indonesia menegaskan kembali kemandirian ekonominya. Kemandirian ekonomi nasional bermakna penguasaan cabang-cabang produksi yang penting --yang mengusai hajat hidup orang banyak-- oleh Negara. Penguasaan ini juga mensyaratkan bahwa bumi dan air (beserta kekayaan alam yang terkandung didalamnya) harus dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat. Kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan bangsa-bangsa di dunia, ataupun dengan lembaga internasional, harus didasarkan pada prinsip saling menguntungkan, setara, dan adanya saling pengakuan atas kedaulatan bangsa masing-masing.

Jalan paling tepat untuk menegakkan kedaulatan ekonomi adalah dengan melakukan nasionalisasi (pengambil alihan) perusahaan tambang asing. Menurut Kaukus Migas Nasional, Effendi Sirajuddin, pengalihan lapangan minyak dan gas bumi (migas) asing kepada perusahaan nasional akan menambah pendapatan negara sekitar 200 miliar US$ --yang dihitung dari cadangan migas nasional sebesar 8 miliar barel. Selain itu, dari pembelanjaan barang dan jasa selama ini, Indonesia hanya menikmati 1 miliar dollar AS/tahun (dari 10 miliar dollar AS/tahun ). Dengan pengalihan lapangan tersebut angka pembelanjaan barang dan jasa di sektor migas tersebut dapat dipacu menjadi 9 miliar US$/tahun.

Pertanyaaannya: sanggupkah bangsa Indonesia mengelolah dan memanajemen perusahaan tambang yang sudah diambil alih tersebut? Jawabannya; SANGAT SANGGUP. Dari beberapa syarat-syarat pengambilalihan aset asing oleh pemerintah Indonesia, untuk dijalankan sendiri, yakni: tekhnologi, modal (dana), dan sumber daya manusia, kita sudah memilikinya.

Dalam hal teknologi, pertamina sudah bisa melakukan eksplorasi dan pemisahan (separasi) sendiri. Bahkan biaya investasi yang ditawarkan pertamina lebih rendah ketimbang korporasi asing. Pertamina sudah mengembangkan usahanya seperti yang telah dilakukan sekarang di Myanmar, Vietnam, Irak, dan Libya. Jika menemui kesulitan dalam menjalankan kegiatan operasinya, Pertamina dapat bekerja sama dengan perusahaan minyak Negara lain, seperti: Petrobraz( brazil) dan PDVSA (Venezuela). Di Dubai, Uni Emirat Arab, Pertamina akan merintis proyek trading atau pengadaan barang pertambangan. Soal pendanaan, Indonesia bisa bekerja-sama dengan investor-investor dari Negara lain, dengan prinsip saling menguntungkan dan penghargaan kedaulatan bangsa Indonesia.

Dalam hal kapasitas sumber daya manusia(SDM), Indonesia juga sudah cukup mumpuni. Sebagai informasi saja: sekitar 90% lebih operasional pertambangan domestik dijalankan oleh orang Indonesia. ExxonMobil, salah satu korporasi asing disektor pertambangan, memiliki lebih dari 600 orang pegawai. Hampir 95 persennya adalah orang Indonesia yang bekerja di berbagai bidang (termasuk para senior manager, ahli teknik, ahli geologi, operator lapangan, akuntan, pengacara dan administrator). Karenanya kepeloporan pekerja sektor pertambangan, beserta dukungan dari ahli-ahli dan teknokrat disektor pertambangan, akan menjadi pemicu semangat merebut kembali kekayaan alam bangsa kita.

 

RAKYAT BERSATU, TOLAK KENAIKAN HARGA BBM!!!

Posted In: . By Fajar Pudiarna

Oleh: Fajar Pudiarna

Rapat terbatas yang dipimpin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), senin (5/5), akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi hingga 30% menyusul tekanan berat dari Anggran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ini merupakan bencana besar bagi segenap rakyat Indonesia, artinya kemiskinan akan semakin meraja lela. Kalau sebelumnya sudah tercatat 36,8 juta jiwa (BPS), maka dengan kenaikan harga BBM yang rencana paling lambat akan dinaikkan pada tanggal 1 Juni maka akan meningkat sebesar 8,55 persen atau 15,68 juta jiwa. Disisi yang lain, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menyatakan bahwa semakin cepat kebijakan ini di ambil maka semakin baik bagi dunia usaha. Dunia usaha yang seperti apa? Yang jelas dunia usaha bagi segelintir orang, bukan dunia usaha yang secara konkrit sebagai sumber produksi masyarakat.

Kekayaan alam yang melimpah ruah, ladang-ladang minyak yang terhampar hampir di pelosok negeri saat ini telah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing. Yang sebenarnya keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia saat ini yang menikmatinya adalah para pengusaha asing. Desakan dari APBN sebenarnya adalah wujud pelepasan tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat oleh sebab ulah mereka yang telah menjual aset-aset tersebut beserta kedaulatan rakyat ke pengusaha asing. Maka akibatnya kekayaan alam yang melimpah ruah tersebut sudah tidak mampu menjawab kebutuhan rakyat, dan rakyat tak dapat berbuat banyak oleh sebab kedaulatan mereka telah terjual.

Sudah jelas kenaikan harga BBM akan menjadi “hantu” bagi rakyat yang setiap saat akan memaksa rakyat untuk mengencangkan urat lehernya dengan “tali gantungan”. Akhir-akhir ini saja sudah banyak diberitakan bahwa banyak keluarga, ibu beserta anaknya, dan lain sebagainya mati bakar diri atau dengan motif-motif lain oleh karena himpitan ekonomi. Maka apa jadinya nasib rakyat nanti, khususnya rakyat miskin. Apakah akan semakin banyak rakyat miskin yang akan bunuh diri? Atau justru ini yang menjadi tujuan pemerintah dalam upaya memberantas kemiskinan? Sungguh ironis apa yang dialami rakyat saat ini, hidup di tengah kekayaan alam yang melimpah, tapi kurus kering dan mati di tengahnya, maka lebih tepat dikatakan bahwa rakyat bagaikan “tikus mati di lumbung padi”.

Maka solusinya adalah rakyat harus bersatu, berjuang untuk mengembalikan kedaulatannya hingga titik darah penghabisan. Budayakan kemandirian, tingkatkan kapasitas, berdayakan tenaga produktif untuk mensionalisasi perusahaan tambang asing atau tolak kenaikan harga BBM.

 

KEBANGKITAN BURUH untuk KEBANGKITAN NASIONAL

Posted In: . By Fajar Pudiarna

(Sebuah Tinjauan Historis)

Oleh: Fajar Pudiarna

Mei menjadi bulan penting bagi masyarakat internasional dan nasional. May Day (Hari Buruh Internasional) yang diperingati setiap tanggal 1 Mei dan di Indonesia 20 Mei sebagai hari Kebangkitan Nasional. Bukan sekedar momentum tetapi memiliki makna sejarah dan harapan yang panjang.

May Day lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja.

Pemogokan pertama kelas pekerja Amerika Serikat terjadi di tahun 1806 oleh pekerja Cordwainers. Pemogokan ini membawa para pengorganisirnya ke meja pengadilan dan juga mengangkat fakta bahwa kelas pekerja di era tersebut bekerja dari 19 sampai 20 jam seharinya. Sejak saat itu, perjuangan untuk menuntut direduksinya jam kerja menjadi agenda bersama kelas pekerja di Amerika Serikat.

Pada tanggal 1 Mei tahun 1886, sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja mereka menjadi 8 jam sehari. Aksi ini berlangsung selama 4 hari sejak tanggal 1 Mei.

Pada tanggal 4 Mei 1886. Para Demonstran melakukan pawai besar-besaran, Polisi Amerika kemudian menembaki para demonstran tersebut sehingga ratusan orang tewas dan para pemimpinnya ditangkap kemudian dihukum mati, para buruh yang meninggal dikenal sebagai martir. Sebelum peristiwa 1 Mei itu, di berbagai negara, juga terjadi pemogokan-pemogokan buruh untuk menuntut perlakukan yang lebih adil dari para pemilik modal.

Pada bulan Juli 1889, Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa di AS tanggal 1 Mei itu sebagai hari buruh sedunia dan mengeluarkan resolusi berisi:

Sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Perancis.

Resolusi ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai negara dan sejak tahun 1890, tanggal 1 Mei, yang diistilahkan dengan May Day, diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara, meskipun mendapat tekanan keras dari pemerintah mereka.

Jauh setelah peristiwa May Day, tepatnya tahun 1908 di Indonesia juga terjadi sebuah pergolakan besar, yaitu pergolakan melawan kolonialisme Belanda. Budi Utomo lahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan di perpustakaan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman. Mereka memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda), serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan. Dalam praktik mereka pun tampak menindas rakyat dan bangsa sendiri, misalnya dengan menarik pajak sebanyak-banyaknya untuk menyenangkan hati atasan dan para penguasa Belanda.

Para pemuda mahasiswa itu juga menyadari bahwa orang-orang lain mendirikan perkumpulan hanya untuk golongan sendiri dan tidak mau mengajak, bahkan tidak menerima, orang Jawa sesama penduduk Pulau Jawa untuk menjadi anggota perkumpulan yang eksklusif, seperti Tiong Hoa Hwee Koan untuk orang Tionghoa dan Indische Bond untuk orang Indo-Belanda. Pemerintah Hindia Belanda jelas juga tidak bisa diharapkan mau menolong dan memperbaiki nasib rakyat kecil kaum pribumi, bahkan sebaliknya, merekalah yang selama ini menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat merugikan rakyat kecil.

Biarpun pada masa itu Indonesia belum menjadi sebuah nagara (state), namun kesadaran yang mereka miliki sudah merepresentasikan sebuah kesadaran nasional dengan memiliki pandangan penyatuan gerakan yang luas (me-nasional) demi membebaskan penderitaan rakyat dari kolonialisme, yang kemudian menjadi penanda Kebangkitan Nasional.

Tinjauan Sejarah

Dari kedua peristiwa Internasional dan Nasional tadi, menunjukan tentang sebuah perlawanan terhadap penindasan. Kebebasan menentukan nasib sendiri yang berkeadilan sosial menjadi sebuah penentu terjaganya harkat dan martabat sebagai manusia.

Buruh dalam melakukan perlawanannya sudah pasti bahwa mereka menganggap diri sebagai manusia bukan sebagai komoditas yang dianggap sebagai modal oleh kapitalis, yang disejajarkan dengan barang atau mesin di pabrik-pabrik. Mereka menuntut kepada kapitalis dan negara sebagai fasilitator agar menegakan Hak Asasi Manusia dan Prinsip Produksi.

Negara dalam menjalankan kehidupannya tidak akan pernah terlepas dari prinsip produksi. Prinsip produksi merupakan sebuah prinsip yang menekankan bahwa produksi yang dilakukan oleh manusia sebagai suatu gerak guna menemukan relasi sosial ekonomis dalam hidup bermasyarakat. Dalam bekerja (baik merubah alam atau sosial) manusia secara praksis mampu memenuhi dan menemukan eksistensi dirinya. Jadi manusia didalam kerjanya tidak hanya memiliki makna dalam hal menghasilkan sesuatu guna mempertahankan kehidupannya, melainkan lebih kepada sebuah upaya dalam membangun perikehidupan dan memiliki makna dalam sebuah identitas kemanusiaannya.

Embrio Kebangkitan Nasional yang merupakan embrio dari penyatuan komitmen bersama masyarakat Indonesia untuk bangkit menjadi sebuah negara merdeka yang bermartabat bagi seluruh rakyatnya tidak akan pernah terlepas dari prinsip produksi. Maka sudah menjadi suatu kewajiban bagi negara untuk melindungi hak-hak kelas pekerjanya. Jadi dengan begitu kesadaran atas buruh harus disejajarkan dengan tujuan nasional, sehingga kebangkitan buruh untuk kebangkitan nasional akan tercapai.