(Sebuah Tinjauan Historis)

Oleh: Fajar Pudiarna

Mei menjadi bulan penting bagi masyarakat internasional dan nasional. May Day (Hari Buruh Internasional) yang diperingati setiap tanggal 1 Mei dan di Indonesia 20 Mei sebagai hari Kebangkitan Nasional. Bukan sekedar momentum tetapi memiliki makna sejarah dan harapan yang panjang.

May Day lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja.

Pemogokan pertama kelas pekerja Amerika Serikat terjadi di tahun 1806 oleh pekerja Cordwainers. Pemogokan ini membawa para pengorganisirnya ke meja pengadilan dan juga mengangkat fakta bahwa kelas pekerja di era tersebut bekerja dari 19 sampai 20 jam seharinya. Sejak saat itu, perjuangan untuk menuntut direduksinya jam kerja menjadi agenda bersama kelas pekerja di Amerika Serikat.

Pada tanggal 1 Mei tahun 1886, sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja mereka menjadi 8 jam sehari. Aksi ini berlangsung selama 4 hari sejak tanggal 1 Mei.

Pada tanggal 4 Mei 1886. Para Demonstran melakukan pawai besar-besaran, Polisi Amerika kemudian menembaki para demonstran tersebut sehingga ratusan orang tewas dan para pemimpinnya ditangkap kemudian dihukum mati, para buruh yang meninggal dikenal sebagai martir. Sebelum peristiwa 1 Mei itu, di berbagai negara, juga terjadi pemogokan-pemogokan buruh untuk menuntut perlakukan yang lebih adil dari para pemilik modal.

Pada bulan Juli 1889, Kongres Sosialis Dunia yang diselenggarakan di Paris menetapkan peristiwa di AS tanggal 1 Mei itu sebagai hari buruh sedunia dan mengeluarkan resolusi berisi:

Sebuah aksi internasional besar harus diorganisir pada satu hari tertentu dimana semua negara dan kota-kota pada waktu yang bersamaan, pada satu hari yang disepakati bersama, semua buruh menuntut agar pemerintah secara legal mengurangi jam kerja menjadi 8 jam per hari, dan melaksanakan semua hasil Kongres Buruh Internasional Perancis.

Resolusi ini mendapat sambutan yang hangat dari berbagai negara dan sejak tahun 1890, tanggal 1 Mei, yang diistilahkan dengan May Day, diperingati oleh kaum buruh di berbagai negara, meskipun mendapat tekanan keras dari pemerintah mereka.

Jauh setelah peristiwa May Day, tepatnya tahun 1908 di Indonesia juga terjadi sebuah pergolakan besar, yaitu pergolakan melawan kolonialisme Belanda. Budi Utomo lahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan di perpustakaan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman. Mereka memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda), serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan. Dalam praktik mereka pun tampak menindas rakyat dan bangsa sendiri, misalnya dengan menarik pajak sebanyak-banyaknya untuk menyenangkan hati atasan dan para penguasa Belanda.

Para pemuda mahasiswa itu juga menyadari bahwa orang-orang lain mendirikan perkumpulan hanya untuk golongan sendiri dan tidak mau mengajak, bahkan tidak menerima, orang Jawa sesama penduduk Pulau Jawa untuk menjadi anggota perkumpulan yang eksklusif, seperti Tiong Hoa Hwee Koan untuk orang Tionghoa dan Indische Bond untuk orang Indo-Belanda. Pemerintah Hindia Belanda jelas juga tidak bisa diharapkan mau menolong dan memperbaiki nasib rakyat kecil kaum pribumi, bahkan sebaliknya, merekalah yang selama ini menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat merugikan rakyat kecil.

Biarpun pada masa itu Indonesia belum menjadi sebuah nagara (state), namun kesadaran yang mereka miliki sudah merepresentasikan sebuah kesadaran nasional dengan memiliki pandangan penyatuan gerakan yang luas (me-nasional) demi membebaskan penderitaan rakyat dari kolonialisme, yang kemudian menjadi penanda Kebangkitan Nasional.

Tinjauan Sejarah

Dari kedua peristiwa Internasional dan Nasional tadi, menunjukan tentang sebuah perlawanan terhadap penindasan. Kebebasan menentukan nasib sendiri yang berkeadilan sosial menjadi sebuah penentu terjaganya harkat dan martabat sebagai manusia.

Buruh dalam melakukan perlawanannya sudah pasti bahwa mereka menganggap diri sebagai manusia bukan sebagai komoditas yang dianggap sebagai modal oleh kapitalis, yang disejajarkan dengan barang atau mesin di pabrik-pabrik. Mereka menuntut kepada kapitalis dan negara sebagai fasilitator agar menegakan Hak Asasi Manusia dan Prinsip Produksi.

Negara dalam menjalankan kehidupannya tidak akan pernah terlepas dari prinsip produksi. Prinsip produksi merupakan sebuah prinsip yang menekankan bahwa produksi yang dilakukan oleh manusia sebagai suatu gerak guna menemukan relasi sosial ekonomis dalam hidup bermasyarakat. Dalam bekerja (baik merubah alam atau sosial) manusia secara praksis mampu memenuhi dan menemukan eksistensi dirinya. Jadi manusia didalam kerjanya tidak hanya memiliki makna dalam hal menghasilkan sesuatu guna mempertahankan kehidupannya, melainkan lebih kepada sebuah upaya dalam membangun perikehidupan dan memiliki makna dalam sebuah identitas kemanusiaannya.

Embrio Kebangkitan Nasional yang merupakan embrio dari penyatuan komitmen bersama masyarakat Indonesia untuk bangkit menjadi sebuah negara merdeka yang bermartabat bagi seluruh rakyatnya tidak akan pernah terlepas dari prinsip produksi. Maka sudah menjadi suatu kewajiban bagi negara untuk melindungi hak-hak kelas pekerjanya. Jadi dengan begitu kesadaran atas buruh harus disejajarkan dengan tujuan nasional, sehingga kebangkitan buruh untuk kebangkitan nasional akan tercapai.