Oleh: Fajar Pudiarna

Beberapa waktu yang lalu perpolitikan Indonesia telah digemparkan oleh issue politisi busuk. Sekarang tak kalah hebatnya, massifnya politik keluarga membuat berbagai kalangan menjadi gerah. Tidak hanya politisi busuk yang memberikan dampak buruk terhadap nasib rakyat Indonesia, tetapi politik keluarga ini akan memiliki dampak yang sama.

Saya sepakat dengan pendapat mantan Rektor Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Ichlasul Amal. Beliau berpendapat bahwa banyaknya keluarga pemimpin partai atau mantan penguasa yang terjun ke dunia politik lebih didorong oleh faktor pragmatisme, bukan ideologi. Hal ini tidak menguntungkan bagi kehidupan partai dan pendidikan politik nasional (Kompas, 21/10/08).

Oleh karena telah terbelenggunya pikiran mereka ke dalam lubang pragmatisme maka makna Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pun telah mereka maknai secara pragmatis. Politik pencitraan lebih memfokuskan mereka daripada upaya melakukan pendidikan-pendidikan politik bagi rakyat. Tidak sedikit dari sekian partai politik (parpol) telah merekrut individu-indivdu kalangan artis atau aktivis. Perekrutan individu-individu dari kedua kalangan itu baik sebagai fungsionaris maupun sebagai calon legislatif tidak lain hanya sekedar untuk memanfaatkan kepopuleran mereka guna meraup suara.

Ternyata wacana-wacana mengenai politik keluarga telah mempengaruhi para tokoh politik besar. Contoh saja apa yang telah di lakukan oleh Susilo Bambang Yodhoyono (SBY). SBY telah melakukan pencoretan anaknya Edhie Baskoro Yudhoyono dari daftar caleg nomor jadi di Daerah Pemilihan Jawa Timur VII. Bukankah dengan demikian SBY juga terjebak dalam politik pencitraan?

Kalau yang dilakukan SBY itu hanya sekedar memberikan contoh bagi sejumlah tokoh politik atau ingin menunjukkan kepada rakyat bahwa dirinya merupakan pemimpin yang anti KKN, maka itu sah-sah saja. Demikian sebaliknya, hal itu akan menjadi sia-sia kalau dilihat secara prisip. Akan lebih tepat kalau yang dilakukan oleh SBY itu demi memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Prisipnya yaitu berada dalam wilayah kapasitas idiologi para kader partai. Demikian halnya dengan anaknya. Seharusnya pencoretan itu SBY berani menunjukkan bahwa anaknya memang belum mampu terlibat untuk mengamban tugas berat perjuangan rakyat oleh karena masih lemahnya kapasitas idiologi. Dengan demikan, aksi itu akan memberikan pendidikan bagi rakyat, bahwa mengemban amanah rakyat itu tidak mudah.

Minim atau gagalnya kaderisasi di sejumlah partai yang memicu praktek politik keluarga menandakan lebarnya jarak antara rakyat dengan partai. Tetapi minim atau gagalnya kaderisasi partai yang menjadi alasan utamanya mungkin berat untuk diterima. Sebab bagi sejumlah parpol telah beranggapan bahwa proses kaderisasi telah berhasil dilakukan. Bahkan masing-masing dari mereka (parpol) optimis akan memenangi setiap pemilu. Hanya saja apakah kaderisasi itu disertai dengan proses idiologisasi?

Kaderisasi tanpa disertai idiologisasi akan memiliki dampak yang sangat berbahaya. Kemungkinan besar dari kader-kader yang telah jadi akan menjadi politisi busuk atau akan menjadi broker. Kenapa bisa demikian? Parpol-parpol sekarang bisa dikatakan sebagai parporl-parpol yang krisis idiologi. Pola-pola yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan sebuah klub sepak bola. Setiap pemain bisa dengan mudah berpindah dari satu klub ke klub yang lain. Apabila pemain di klub A tidak mendapat kepuasan, maka akan berpindah ke klub B atau C yang lebih bisa memberikan kepuasan dan jaminan masa depan. Sama halnya dengan sejumlah tokoh politik. Ketika di partai A dirinya tidak mendapat posisi strategis, maka si tokoh tersebut akan berpindah ke partai B yang telah siap memberikan posisi strategis. Artinya, apa yang telah mereka lakukan adalah demi sebuah kedudukan dan kekuasaan semata biarpun segala apologi telah mereka sertakan.

Perpolitikan saat ini memiliki perbedaan dengan perpolitikan pada era orde lama meskipun sama-sama menjalankan sistem multipartai. Perpolitikan orde lama lebih memberikan identitas dan karakter di mata rakyat pada masa itu. Bukan berarti perpolitikan sekarang lebih buruk. Luasnya ruang demokrasi sekarang ternyata tidak mampu memunculkan identitas bangsa. Dengan pengalaman dan kemudahan dalam menempuh jenjang pendidikan, generasi sekarang seharusnya memiliki basic yang lebih bagus.

Pada masa pemerintahan orde lama Indonesia didominasi oleh tiga golongan besar beserta landasan idiologinya, yaitu golongan Agama (Idiologi Islam/Syariat Islam); Nasionalis (Nasionalisme); dan Komunis (Komunisme). Masa orde lama merupakan masa transisi dari masa kolonialisme ke masa kemerdekaan maka sudah pasti akan terjadi banyak gesekan idiologis. Meskipun banyak sekali terjadi gesekan-gesekan idiologi, justru ini membuktikan bahwa idiologi menjadi panji utama dalam proses pengidentitasan bangsa. Yakni adanya upaya untuk melandaskan atas didirikannya sebuah negara.

Dialektika sejarah telah menghantarkan ke medan perpolitikan. Cukuplah bagi kita untuk menilai karakteristik perpolitikan sekarang. Bukan lagi landasan idiologi yang menjadi indikator keberhasilan pembangunan politik nasional, akan tetapi pertentangan antar individu yang saling berebut kekuasaan. Maraknya politik keluarga bukan karena tidak berhasilnya kaderisasi oleh sebuah partai. Akan tetapi partai politik menenempatkan dirinya secara eksklusif, sehingga jarak antara rakyat dan parpol sangatlah jauh. Partai politik seolah menjadi istana para dewa dan rakyat seolah menjadi obyek kekuasaannya.

Jelas sudah, bahwa pragmatisme telah membelenggu pikiran tokoh-tokoh politik kita. Sekarang lihat saja dari indikasi riil yang berkaitan dengan kampanye-kampanye politik yang diusung oleh sejumlah tokoh politik. Issue-issue mengenai kesejahteraan seolah-olah hanya dewa-lah yang menjadi penolongnya. Dan para tokoh politik besar itu seolah-olah telah berlaku sebagai dewanya. Siapa saja yang mau menyembah dan mengabdi kepada dewa tersebut, maka pahala berupa kesejahteraan akan didapat. Akibatnya proses penyembahan dan pengabdian itu hanyalah penyembahan dan pengabdian pragmatis. Kesejahteraan telah dikaburkan dari makna perjuangannya. Padahal sudah jelas, bahwa kesejahteraan rakyat hanya akan didapat melalui proses perjuangan rakyat itu sendiri. Bahkan Islam pun mengajarkan melalui Al Quran “...Bahwa Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sebelum kaum itu mau merubahnya”. Universalnya makna ini menegaskan makna sebuah perjuangan.

Kalau demikian seterunya maka sudah bisa dipastikan, bahwa rakyat akan semakin terperosok pada jurang kesengsaraan. Kedaulatan tak kan bisa digenggam lagi sebab rakyat tak memiliki batu pijakan guna menjujung tinggi kedaulatannya. Idiologi merupakan titik tolak bagi jalannya proses perjuangan rakyat. Ketidak jelasan idiologi partai politik dikhawatirkan akan menjebak rakyat kepada sebuah belenggu pembodohan.###