Oleh: Fajar Pudiarna

……Adil Sejak dalam Pikiran” (Bumi Manusia: Pramoedya Ananta Tour)

Sekelumit tentang penggalan kalimat dalam sebuah Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Tour ini akan menghantarkan kita untuk membangun pola pikir dalam menyikapi sebuah Rancangan Undang-undang (RUU) Pornografi. Pornografi memang bukan merupakan issue yang baru, akan tetapi sejak bergulirnya RUU Pornografi sepintas kemudian beberapa lapisan masyarakat menjadi resah. Resah terhadap pilihan kemana masyarakat akan berpihak dan bagaimana akibatnya nanti. Apakah akan mendukung atau menolak? Bagaimana jadinya nanti kalau kami menolak? Dan bagaimana jadinya nanti kalau kami mendukung?

Seharusnya pemerintah jangan bersikap reaksioner dalam memandang hal ini. Sebelum dirumuskan menjadi sebuah RUU tentu dilakukan pengkajian terlebih dahulu. Dan saya yakin kalau dalam hal ini (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) telah melakukan pengakijian terlebih dahulu. Tetapi perlu diingat, bahwa yang ada di dalam parlemen terdiri dari beberapa golongan yang mengatasnamakan rakyat. Dan mungkin sebagian besar produk UU yang dihasilkan dari parlemen merupakan wujud representatif dari kepentingan golongan yang berada di dalam parlemen.

Banyak dalih yang bisa digunakan, secara faktual banyak sekali kasus yang terjadi. Mulai dari kasus pemerkosaan, pencabulan maupun ragam dari segala bentuk pelecehan seksual. Hampir setiap hari berita-berita kriminal di media massa maupun televisi menayangkan kasus-kasus ini. Sehingga membuat gerah berbagai kalangan masyarakat. Demikian halnya dalam upaya melegitimasi RUU tersebut pemerintah menggunakan landasan UUD 1945 pasal 28 huruf J ayat 2 yang menyatakan “bahwa kebebasan berpendapat diatur dengan UU untuk menjaga nilai-nilai agama, moral, dan budaya”. Mungkin kalau dilihat dari esensi UU sebagai sebuah kebijakan publik akan dapat menguntungkan atau memberi manfaat bagi banyak orang dan menekan risiko seminimal mungkin. Memang tidak ada sebuah kebijakan yang akan memuaskan semua orang, tetapi yang pasti harus memberikan manfaat atau nilai bagi banyak orang. Pengertian banyak orang bukanlah didasarkan pada mayoritas dan minoritas, karena kebijakan itu sendiri tidak boleh diskriminatif.

Akan tetapi kalau menilik dari proses perjalanannya, RUU Pornografi ini tidak sedikit telah mendapat penolakan. Mereka yang menolak adalah lapisan masyarakat yang khawatir akan disalahgunakannya produk UU ini untuk tujuan tertentu. Tujuan tertentu disini tentu bertentangan dengan esensi dari UU sebagai bentuk kebijakan publik. Apalagi di Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum pada draft terakhir RUU Pornografi menyebutkan, pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat. Definisi ini, menunjukkan longgarnya batasan "materi seksualitas" dan menganggap karya manusia, seperti syair dan tarian (gerak tubuh) di muka umum, sebagai pornografi. Kalimat membangkitkan hasrat seksual atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat bersifat relatif dan berbeda di setiap ruang, waktu, maupun latar belakang. Isian dari bab ini oleh para penolak dinilai masih mengandung makna yang ambigu, tidak jelas atau bahkan tidak bisa dirumuskan secara absolut. Sehingga akan memberikan kelonggaran bagi beberapa kalangan untuk melakukan perbuatan yang akan merugikan masyarkat dengan alasan penegakan UU oleh karena kesalahan dalam penafsiran dari makna pornografi sendiri.

Pornografi merupakan sesuatu yang sugestif. Sedangkan sesuatu yang sugestif itu sudah pasti subyektif, yang muncul dari pikiran masing-masing individu manusia. Sama halnya dengan dorongan seksual yang merupakan fitrah manusia. Tanpa dorongan seksual mustahil kehidupan manusia akan berkembang.

Sebenarnya ada 3 aspek dalam landasan RUU Pornografi yaitu agama, moral dan kebudayaan. Pertama dalam aspek agama. Tidak ada satu agama pun yang mengajarkan tentang kejelekan. Agama mengajarkan budi pekerti yang luhur dan akhlak mulia atau dalam istilah Islam terkenal dengan “akhlaqul karimah”. Dalam agama Budha mengajarkan tentang karma, begitu juga dengan agama-agama lain. Sedangkan di Indonesia ada 5 agama ditambah konghucu dan aliran kepercayaan. Mengenai aurat, hanya agama Islam-lah yang secara detail mengajarkannya. Biarpun Islam merupakan agama mayoritas, bukan berarti aturan dalam penutupan aurat itu didasarkan sepenuhnya pada ajaran Islam.

Seperti halnya perkataan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai pakaian adat yang memperlihatkan aurat sebaiknya disimpan di museum saja. Hal ini tidak cocok kalau dikatakan dihadapan masyarakat Indonesia. Sebab banyak masyarakat Indonesia yang menjalankan ritual agama justru menggunakan pakaian adat. Misalnya saja umat Hindu perempuan yang pergi ke Pura hanya menggunakan “kemben”. Kalau dilihat dari sudut pandang ajaran Islam memang bertentangan, tetapi kenyataannya belum pernah ada kasus pemerkosaan yang terjadi di dalam Pura. Dan kalau mau berlaku adil, mari kita sama-sama mengumpulkan data kasus pemerkosaan. Diantara berbagai macam kasus pemerkosaan yang telah terjadi coba kita list agama dari para pelaku pemerkosaan itu. Mana yang lebih banyak? Atau kalau mau lebih jauh, mari kita lihat berapa banyak TKW yang diperkosa majikannya di Arab saudi. Bukankan Arab Saudi merupakan bagian dari tempat kelahiran Islam?

Kedua dalam aspek moral. Moral lebih luas cakupannya yaitu lebih pada kaidah hubungan antar manusia. Sebab selain agama sebagai landasan, moral juga melihat tradisi dan adat-istiadat. Sehingga moral lebih melihat pada norma-norma yang berlaku di masyarakat. Moral diakui bahwa didalam menjalin interaksi antar sesama warga harus mengikuti kaidah-kaidah kesopanan, biarpun kaidah kesopanan ataupun ukuran moralitas itu relatif.

Biasanya di kampung-kampung yang masih kental nilai-nilai religiusnya apabila terjadi suatu perilaku oleh seseorang baik dari cara berpakaian ataupun kebiasaan diluar batas kesopanan menurut kebiasaan kampung tersebut akan mendapat teguran dari tokoh dan atau masyarakat. Kalau tidak, biasanya seseorang yang berbuat demikian akan terasing di lingkungannya. Sehingga apabila sudah merasa terasing secara tidak langsung akan berubah sedikit demi sedikit dan kembali membaurkan diri pada lingkunganya. Tindakan dari masyarakat perkampungan ini biasanya cukup efektif dalam memberikan efek jera.

Kalau perkara moral ini mau dilihat secara luas, yaitu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka lebih tepatnya yang menjadi tolok ukur adalah bagaimana para pemimpin bangsa ini bisa menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. Adalah sesuatu hal yang mustahil akan tercipta moral masyarakat yang baik tanpa adanya dukungan moral yang baik dari pemimpinnya. Contoh saja beberapa kasus anggota dewan yang ketahuan terlibat dalam aksi pencabulan. Bukankah ini merupakan representasi dari kemunafikan? Apakah kebobrokan moral pemimpin bangsa ini akan dilimpahkan kepada masyarakat sebagai upaya pembersihan? Kalau memang demikian berarti para pemimpin bangsa kita ini sudah begitu hebatnya yaitu berani mengibarkan bendera moral diantara kebobrokan moral.

Dalam Tri Saktinya Soekarno “berkepribadian dalam budaya” menunjukan betapa budaya memiliki peranan khusus yaitu sebagai karakter bangsa. Sedangkan menurut RM Suwardi Suryaningrat budaya merupakan buah budi manusia. Kata “buah budi” inilah yang memaknai bahwa budaya merupakan buah dari perilaku kebaikan manusia demi menunjang kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Kalau kita menilai bahwa pornografi memiliki peranan berbahaya bagi masyarakat Indonesia di masa sekarang dan masa yang akan datang, maka sudah selayaknya pornografi itu segera dihilangkan dari pikiran kita. Proses penghilangan budaya pornografi bukan berarti bisa dilaksanakan secara mutlak melalui sebuah pemaksaan. Melainkan melalui pendidikan-pendidikan yang memiliki perspektif budaya.

Bisa dibilang Indonesia memiliki banyak sekali budaya yang terdiri dari budaya-budaya lokal. Akan tetapi sayangnya anak bangsa merasa enggan atau bahkan merasa sudah tidak memiliki budaya itu. Lebih parahnya menganggap budaya lokal daerahnya sudah ketinggalan jaman. Kalau sampai hal ini terjadi maka siapa yang patut disalahkan? Bukankan mulai dari tingkat Sekolah Dasar (SD) materi mengenai budaya-budaya daerah telah di perkenalkan? Ataukah materi-materi ini hanya sebagai syarat dalam sebuah kurikulum, bukan sebagai media penanaman karakter? Atau barangkali gurunya yang tidak mampu mendidik akan hal itu?

Sebenarnya bisa diketahui bahwa rusaknya budaya bangsa itu sekali lagi terletak di tangan para pemimpin bangsa. Ada falsafah mengatakan “bahwa untuk menghancurkan sebuah bangsa maka hancurkanlah budayanya serta jauhkan sejarah dari ingatan anak bangsanya”. Kalau kemudian ditarik secara vertikal maka jelas bahwa pemerintah menjadi jembatan penghancuran itu.

Oleh karena pornografi merupakan suatul hal yang sugestif maka pikiran itu sendiri yang dapat mengontrolnya. Bukan salahnya pelukis apabila ia melukis tentang seorang perempuan telanjang, atau bahkan bukan salah penari Jaipong apabila ia meliuk-liukan tubuhnya ketika menari. Tetapi salahkan pikiran kita, ketika pikiran kita tidak mampu mengontrol bahwa kita harus bersikap adil dalam memandang sesuatu. Maka tepat kiranya kalau kita meletakkan sendi-sendi keadilan itu sejak dalam pikiran kita. Karena hanya itulah yang mampu meminimalisir segala bahaya dekonstruksi kepribadian. Tanpa itu biarpun sejuta UU telah disahkan maka pelanggaran akan tetap ada.###