BLT Adalah Sogokan Bagi Rakyat Miskin

Oleh: Fajar Pudiarna

Beban subsisdi Negara yang mencapai Rp. 250 triliun, apabila harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi tidak dinaikkan maka defisit anggaran akan membengkak hingga Rp. 150 triliun dan akan melanggar UU APBN 2008 itulah yang menjadi alasan utama pemerintah dalam upaya menaikkan harga BBM. Akan tetapi apakah alasan itu sudah dipertimbangkan matang-matang oleh pemerintah, mengingat kondisi riil warga negara yang masih lemah, khusunya warga miskin yang masih tinggi.

Anggaran pendapatan negara tahun 2008 sesuai dengan UU No 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2008 hanya didapat dari tiga sumber, yaitu (1) Penerimaan Perpajakan; (2) Penerimaan Bukan Pajak; dan (3) Hibah. Dari ketiga sumber pendapatan negara tersebut mencapai total jumlah Rp. 894,99 triliun, itupun penerimaan terbesar dari pajak yang mencapai Rp. 609,227 triliun. Sedangkan untuk anggaran belanja negara mencapai Rp. 989,49 triliun, dengan pengeluaran terbesar untuk anggaran belanja pemerintah pusat yaitu mencapai Rp. 697,071 triliun. Disini sudah kelihatan, bahwa keseimbangan antara pendapat dengan belanja negara sudah tidak seimbang dan mengalami defisit sebesar Rp. 94,5 triliun.

Sebenarnya kalau kita lihat lebih dalam, maka persoalannya bukan pada berapa besar defisit anggaran negara kita, tetapi lebih bagaimana upaya pemerintah meningkatkan produksi dalam negerinya. Kalau pemerintah mengacu pengurangan defisit anggaran dengan jalan menaikkan harga BBM atau mencabut subsidi BBM sebesar Rp. 8,254 triliun, maka itu bukan jalan keluar yang logis, walaupun pemerintah beranggapan kalau BBM tidak dinaikkan maka subsidi BBM akan mencapai Rp. 190 triliun dari Rp. 8,254 triliun. Sebab rakyatlah yang akan menanggung beban berat semua itu, padahal anggaran subsidi BBM sebesar Rp. 8,254 triliun itu jauh lebih kecil ketimbang anggaran yang dikeluarkan pemerintah hanya untuk membayar cicilan pokok utang luar negeri yang mencapai Rp. 61,254 triliun.

Dengan dinaikkannya harga BBM sebesar 30% atau harga BBM akan naik menjadi Rp. 6000/liter (premium) yang mengacu pada kenaikan minyak dunia sebesar 124 dollar AS/barel, itu merupakan wujud nyata dari kesalahan pemerintah dalam menerapkan kebijakan pertambangan dan energi. Menurut laporan Energy Information Administration (EIA) Januari 2008, disebutkan bahwa total produksi minyak Indonesia rata-rata sebesar 1,1 juta barel per-hari, dengan 81% (atau 894.000 barel) adalah minyak mentah (crude oil). Untuk produksi gas alam, Indonesia sanggup memproduksi 97.8 juta kubik. Sebagai informasi, Indonesia masuk dalam daftar ke 9 penghasil gas alam di dunia, dan merupakan urutan pertama di kawasan Asia Pasifik. Sayangnya hampir 90% dari total produksi (red: gas) tersebut berasal dari 6 MNC, yakni:
• Total (diperkirakan market share-nya di tahun 2004, 30 %)
• ExxonMobil (17 %)
• Vico (BP-Eni joint venture, 11 %),
• ConocoPhillips (11 %)
• British Petroleum (6 %), dan
• Chevron (4 %).

Stok gas bumi mencapai 187 triliun kaki kubik atau akan habis dalam waktu 68 tahun, dengan tingkat produksi per tahun sebesar 2,77 triliun kaki kubik. Cadangan batu bara ada sekitar 18,7 miliar ton lagi atau dengan tingkat produksi 170 juta ton per tahun berarti cukup untuk memenuhi kebutuhan selama 110 tahun. (Sumber: Kementerian ESDM 2006).

Bayangkan, dari 1,1 juta barel/hari kalau seandainya diproduksi oleh perusahan negara yang tentunya fungsinya untuk mensuplai kebutuhan dalam negeri, maka kita akan menghasilkan dana sebesar 13.6400.000 dollar AS atau Rp. 1.227.600.000.000/hari bruto. Belum lagi ditambah dengan pengasilan sumber-sumber energi lain. Tetapi sayangnya sebanyak 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia dimiliki oleh perusahaan multinasional (asing). Perusahaan nasional hanya punya porsi sekitar 14,6 persen. Data terbaru di BP Migas menyebutkan hanya ada sekitar 20 perusahaan migas nasional yang saat ini mengelola lapangan migas di Indonesia. Dan dari 20 perusahaan tersebut, hanya 10 perusahaan yang sudah berproduksi. Sisanya, masih belum berproduksi.

Di sisi yang lain sebagai upaya pemerintah dalam mengurangi beban masyarakat miskin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai untuk Rumah Tangga Sasaran (RTS) setelah memimpin rapat paripurna kabinet selama sembilan jam. Turunnya Inpres tersebut untuk kelancaran pelaksanaan program pemberian bantuan langsung tunai kepada RTS dalam rangka kompensasi pengurangan subsidi Bahan bakar minyak. Dalam Inpres ini yang dimaksud dengan Rumah Tangga Sasaran (RTS) adalah rumah tangga yang masuk kategori sangat miskin, miskin, dan hampir miskin. BLT kepada RTS sebagaimana yang dimaksud dalam Inpres ini berakhir pada tanggal 31 Desember 2008, dikeluarkan setelah sidang kabinet 14 mei 2008. Ini adalah sinyal jelas bagi rakyat, bahwa BBM tetap akan dinaikkan.

BLT sebesar Rp. 100.000/bulan, selain akan berdampak terjadi konflik horisontal atau bahkan akan terjadi korban karena buruknya sistem distribusi seperti tahun 2006 lalu, BLT juga tidak memberi manfaat lebih bagi rakyat miskin, sebab dalam kerangka kebutuhan ekonomi, apalagi dalam sistem ekonomi liberal seperti saat ini, rakyat tak kan bisa berbuat banyak. Prinsipnya BLT hanya berfungsi sebagai sogokan bagi rakyat guna meredam amarah rakyat.

Sebenarnya, problem utama dari krisis sekarang ini jelas bermuara pada fakta: melimpahnya kekayaan alam Indonesia, namun tidak sedikitpun tetesannya jatuh ketangan rakyat miskin. Penguasaan asing atas sektor pertambangan kita, dari sektor hulu sampai pada hilir, turut memperberat tekanan pada mengecilnya keuntungan (pendapatan) Negara. Ini ditambah beban biaya produksi yang membuat industri dalam negeri kolaps.

Karena itu sudah saatnya bangsa Indonesia menegaskan kembali kemandirian ekonominya. Kemandirian ekonomi nasional bermakna penguasaan cabang-cabang produksi yang penting --yang mengusai hajat hidup orang banyak-- oleh Negara. Penguasaan ini juga mensyaratkan bahwa bumi dan air (beserta kekayaan alam yang terkandung didalamnya) harus dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan bagi kemakmuran rakyat. Kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan bangsa-bangsa di dunia, ataupun dengan lembaga internasional, harus didasarkan pada prinsip saling menguntungkan, setara, dan adanya saling pengakuan atas kedaulatan bangsa masing-masing.

Jalan paling tepat untuk menegakkan kedaulatan ekonomi adalah dengan melakukan nasionalisasi (pengambil alihan) perusahaan tambang asing. Menurut Kaukus Migas Nasional, Effendi Sirajuddin, pengalihan lapangan minyak dan gas bumi (migas) asing kepada perusahaan nasional akan menambah pendapatan negara sekitar 200 miliar US$ --yang dihitung dari cadangan migas nasional sebesar 8 miliar barel. Selain itu, dari pembelanjaan barang dan jasa selama ini, Indonesia hanya menikmati 1 miliar dollar AS/tahun (dari 10 miliar dollar AS/tahun ). Dengan pengalihan lapangan tersebut angka pembelanjaan barang dan jasa di sektor migas tersebut dapat dipacu menjadi 9 miliar US$/tahun.

Pertanyaaannya: sanggupkah bangsa Indonesia mengelolah dan memanajemen perusahaan tambang yang sudah diambil alih tersebut? Jawabannya; SANGAT SANGGUP. Dari beberapa syarat-syarat pengambilalihan aset asing oleh pemerintah Indonesia, untuk dijalankan sendiri, yakni: tekhnologi, modal (dana), dan sumber daya manusia, kita sudah memilikinya.

Dalam hal teknologi, pertamina sudah bisa melakukan eksplorasi dan pemisahan (separasi) sendiri. Bahkan biaya investasi yang ditawarkan pertamina lebih rendah ketimbang korporasi asing. Pertamina sudah mengembangkan usahanya seperti yang telah dilakukan sekarang di Myanmar, Vietnam, Irak, dan Libya. Jika menemui kesulitan dalam menjalankan kegiatan operasinya, Pertamina dapat bekerja sama dengan perusahaan minyak Negara lain, seperti: Petrobraz( brazil) dan PDVSA (Venezuela). Di Dubai, Uni Emirat Arab, Pertamina akan merintis proyek trading atau pengadaan barang pertambangan. Soal pendanaan, Indonesia bisa bekerja-sama dengan investor-investor dari Negara lain, dengan prinsip saling menguntungkan dan penghargaan kedaulatan bangsa Indonesia.

Dalam hal kapasitas sumber daya manusia(SDM), Indonesia juga sudah cukup mumpuni. Sebagai informasi saja: sekitar 90% lebih operasional pertambangan domestik dijalankan oleh orang Indonesia. ExxonMobil, salah satu korporasi asing disektor pertambangan, memiliki lebih dari 600 orang pegawai. Hampir 95 persennya adalah orang Indonesia yang bekerja di berbagai bidang (termasuk para senior manager, ahli teknik, ahli geologi, operator lapangan, akuntan, pengacara dan administrator). Karenanya kepeloporan pekerja sektor pertambangan, beserta dukungan dari ahli-ahli dan teknokrat disektor pertambangan, akan menjadi pemicu semangat merebut kembali kekayaan alam bangsa kita.