Oleh: Fajar Pudiarna

Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia merupakan modal utama dalam menyokong proses tercapainya kesejahteraan rakyat. Sedangkan Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan modal baku guna mengolah dan menjaga SDA tersebut. Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3 sudah dijelaskan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar
kemakmuran rakyat”.

Melihat dari kekayaan SDA-nya, Indonesia saat ini memiliki 25% timah, 7,2% emas, 5,7% nikel, dan 2,2% batubara tingkat dunia. Indonesia juga penghasil gas terbesar di dunia serta penghasil batubara terbesar nomor dua setelah Australia. Tidak hanya itu, Indonesia juga memproduksi minyak bumi. Sekarang yang menjadi pertanyaannya adalah apakah dengan kekayaan SDA yang melimpah dan didukung dengan SDM yang berjumlah 230 juta itu akan menjadi berkah atau malapetaka bagi rakyat Indonesia? Jawabannya berada pada rakyat sendiri.

Kalau melihat dari umur Indonesia paska Proklamasi Kemerdekaan ’45, berarti sudah 63 tahun lamanya kita meniti hidup sebagai bangsa yang merdeka. Tetapi kalau melihat dari kenyataan, mungkin kita akan ragu apabila kita menyatakan diri sudah merdeka. Para pejuang kemerdekaan yang menjadi founding father bangsa bercita-cita bahwa bangsa ini merdeka secara lahir maupun batin. Merdeka seluruh tumpah darah Indonesia. Mampu berdiri sejajar dengan bangsa lain dan berhak menentukan nasib sendiri. Tri Sakti-nya bung Karno bukan saja menjadi senjata dalam melawan Imperealisme. Akan tetapi sekaligus sebagai piandel (benteng) dalam meniti kepribadian bangsa.

Imperealisme ternyata memiliki keuletan dalam mencengkeramkan kukunya. Tidak hanya Belanda pada waktu itu yang memiliki kepentingan, tetapi Amerika Serikat juga memiliki maksud yang sama.

Kejatuhan Soekarno yang kemudian digantikan oleh rezim Soeharto ternyata menjadi tumpeng lezat bagi kekuatan imperealis. Satu demi satu perusahaan multinasional menunjukkan taringnya guna melahap satu demi satu kawasan Indonesia yang memiliki potensi SDA. Percaturan politiklah yang kemudian bermain.

Pemilu 2009, merupakan pemilu dari kesekian kali pemilu yang pernah dan akan kita lalui. Satu demi satu pemilu yang pernah kita lalui, hampir semua partai menjanjikan angin segar terhadap nasib rakyat. Tapi apa buktinya, berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi dan berkepribadian secara kebudayaan sudah kita dapatkan? Jawabannya adalah Tidak!

Partai politik yang berkembang mulai masa orde baru, merupakan partai politik yang memiliki kaitan dengan program-program imperealis. Partai-partai tersebut bukan merupakan partai yang menjadi implementor perjuangan rakyat. Melainkan partai-partai yang berjuang untuk meluaskan kekuasaan atas segala kekayaan yang dimiliki Indonesia. Kenapa demikian? Jawabannya berada di balik pertanyaan siapa tokoh-tokoh dalam sebuah partai? Biarpun segunung emas dijanjikan kepada rakyat, maka mustahil kalau akan terpenuhi. Sebab sebelum partai menjadi partai pemenang pemilu, partai-partai tersebut menggunakan cara-cara manipulatif, yaitu memberikan sogokan-sogokan kepada rakyat. Problem kemiskinan memang telah menjadi problem pokok masyarakat. Di sini bukan berarti rakyat harus ditipu secara mentah dengan dalih pangabdian.

Secara prinsip, partai politik merupakan alat yang dibentuk oleh rakyat sebagai alat yang bisa memperjuangkan rakyat. Misalnya, partai buruh. Partai buruh hendaknya dibentuk oleh buruh sendiri guna memperjuangankan hak-haknya di parlemen. Andaikata sekarang rakyat belum bisa dikatakan sebagai rakyat yang sadar akan hak-haknya, maka sudah menjadi kewajiban bagi yang sudah sadar untuk menyadarkan dan mendorong terciptanya suatu gerakan rakyat.

Dalam menyongsong pemilu 2009 sudah banyak tokoh-tokoh yang berubah menjadi artis dan seolah-olah telah menampakkan dirinya di televisi-televisi melalui iklan politik sebagai agen perubahan. Bagai seorang ksatria yang berjiwa pendeta, mereka telah mengeluarkan fatwa-fatwa yang meyakinkan rakyat. Padahal biaya-biaya untuk iklan sendiri telah memakan uang milyaran rupiah banyaknya. Bukan rahasia umum, mereka yang berkedok ksatria berjiwa pendeta itu telah memiliki pamrih untuk duduk di kursi kekuasaan.

Tidak hanya itu, mereka yang mengatas namakan aktivis dan berjuang digaris massa juga telah terjebak dalam permainan ini. Hampir mayoritas, fenomena 2009 telah menyedot banyak aktivis untuk terlibat dalam percaturan politik dengan terlibat di berbagai partai politik dan bermain-main dengan berbagai landasan idiologi.

Singkatnya, bagi para pejuang sejati tentu menggunakan idiologi yang sejati dengan massa yang sejati pula. Idiologi sejati dengan massa sejati merupakan satu kesatuan yang tidak bisa ditinggalkan. Idiologi sejati adalah idiologi yang benar-benar bisa diterima rakyat dan didukung dengan penuh kesadaran oleh oleh rakyat. Sekarang kita tinggal menilai, apakah di ajang pemilu 2009 ini masih ada sebuah perjuangan yang sejati atau hanya sebagai ajang bagi para kaum munafiqin?